Pengertian
Perilaku manusia juga dilatar belakangi oleh sikap. Sikap sendiri memeiliki
pengertian sebagai “organisasi pendapat, keyakinan seseorang mengenai objek
atau situasi relatif yang relatif ajeg yang disertai adanya perasaan tertentu
dan memberikan dasar kepada organisme untuk membuat respon atau perilaku dalam
cara tertentu yang dipilihnya”. Atau dalam bahasa sederhana sikap adalah kesediaan
beraksi terhadap suatu hal.
Sikap memiliki beberapa pengertian dan definisi sebagai berikut :
• Sikap adalah predisposisi mental untuk melakukan suatu tindakan (Kimmball
Young (1945)
• Sikap adalah keajegan dan kekhasan perilaku seseorang dalam hubungan dengan
stimulus manusia atau kejadian-kejadian tertentu (Sherif & sherif 1956)
• Sikap adalah predidposisi yang dipelajari untuk merespon secara konsisten
dalam tatacara tertentu dan berkenaan dengan objek tertentu (Fishbein &
Ajzen 1975)
• Kesimpulannya pengertain sikap adalah kecenderungan untuk bertindak dan
bereaksi terhadap stimulus atau rangsangan.
Komponen sikap
Sikap merupakan hubungan dari berbagai komponen yang terdiri atas :
a. Komponen kognitif : yaitu komponen yang tersusun atas dasar
pengetahuan dan informasi yang dimilki seseorang tentang objek sikapnya atau
komponen yang berkaitan dengan pengetahuan, pandangan, keyakinan atau bagaimana
mempersepsi objek
b. Komponen afektif : komponen yang bersifat evaluatif yang berhubungan
dengan rasa senang dan tidak senang
c. Komponen konatif : kesiapan seseorang untuk bertingkah laku yang
berhubungan dengan objek sikapnya atau komponen yang berhubungan dengan
kecenderungan bertindak terhadap objek
Ciri-ciri sikap
Sikap memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
a. Sikap tidak dibawa sejak lahir
Berarti manusia dilahirkan tidak membawa sikap tertentu pada suatu objek. Oleh
karenanya maka sikap terbentuk selama perkembangan individu yang bersangkutan.
Karena terbentuk selama perkembangan maka sikap dapat berubah, dapat dibentuk
dan dipelajari. Namun kecenderungannya sikap bersifat tetap.
b. Sikap selalu berhubungan dengan objek
Sikap terbentuk karena hubungan dengan objek-objek tertentu, melalui persepsi
terhadap objek tersebut.
c. Sikap dapat tertuju pada satu objek dan sekumpulan objek
Bila seseorang memiliki sikap negatif pada satu orang maaka ia akan menunjukkan
sikap yang negatif pada kelompok orang tersebut.
d. Sikap itu dapat berlangsung lama atau sebentar
Jika sikap sudah menjadi nilai dalam kehidupan seseorang maka akan berlangsung
lama bertahan, tetapi jika sikap belum mendalam dalam diri seseorang maka sikap
relaatif dapat berubah.
e. Sikap mengandung perasaan atau motivasi
Sikap terhaadap sesuaatu akan diikuti oleh perasaan tertentu baik positif
maupun negatif. Sikap juga mengandung motivasi atau daya dorong untuk
berperilaku.
Undang-Undang
Guru dan Dosen mengajak kita percaya bahwa program kualifikasi, sertifikasi,
dan pemberian beberapa tunjangan untuk guru akan meningkatkan kualitas guru dan
secara otomatis mendongkrak mutu pendidikan. Tentu kita tidak percaya
sepenuhnya. Mengapa? Karena ada satu hal yang sering kali terluput dari
diskursus tentang rendahnya kualitas guru di Indonesia, yaitu soal
birokratisasi profesi guru.
Birokratisasi profesi guru di zaman Orde Baru telah menghasilkan mayoritas guru
bermental pegawai. Orientasi jabatan sangat kental melekat dalam diri para
guru. Jabatan guru utama—sebagaimana layaknya guru besar di perguruan
tinggi—tidak lagi dilihat sebagai tujuan puncak karier yang harus diraih
seorang guru, melainkan lebih pada jabatan kepala sekolah atau jabatan-jabatan
birokrasi lainnya di dinas-dinas pendidikan maupun di departemen pendidikan.
Semangat profesionalismenya luntur seiring terjadinya disorientasi jabatan ini.
Birokratisasi juga menciptakan hubungan kerja "atasan-bawahan", yang
lambat laun menghilangkan kesejatian profesi guru yang seharusnya merdeka untuk
menentukan berbagai aktivitas profesinya tanpa harus terbelenggu oleh juklak
dan juknis (petunjuk pelaksana dan petunjuk teknis) yang selama ini menjadi
bagian dari budaya para birokrat. Guru menjadi tidak kreatif, kaku, hanya
berfungsi sebagai operator atau tukang dan takut melakukan berbagai pembaruan.
Rasa takut itu pada akhirnya semakin memperkokoh kekuasaan birokrasi dengan
menjadikan guru sebagai bagian dari pegawai-pegawai bawahan yang harus tunduk
patuh pada perintah "atasan". Guru yang berani mengkritik, apalagi
memprotes tindakan "atasan" yang tidak benar, dengan mudah
diperlakukan sewenang-wenang seperti diintimidasi, dimutasi, diturunkan
pangkatnya atau bahkan dipecat dari pekerjaannya. Kasus mutasi Waldonah di
Temanggung, kasus mutasi 10 guru di Kota Tangerang, kasus pemecatan Nurlela dan
mutasi Isneti di Jakarta, serta beberapa kasus penindasan terhadap guru di
berbagai daerah menunjukkan begitu kuatnya proses birokratisasi profesi guru
sampai saat ini.
Proses yang sama terjadi pula sampai ke dalam kelas. Dalam proses pembelajaran,
guru lebih menempatkan diri sebagai agen- agen kekuasaan. Ia memerankan dirinya
sebagai pentransfer nilai-nilai ideologi kekuasaan yang tidak mencerahkan
kepada anak-anak didiknya daripada membangun suasana pembelajaran yang
demokratis dan terbuka. Anak didik dijadikan "bawahan-bawahan" baru
yang harus tunduk dan patuh kepada guru sesuai juklak dan juknis atau atas nama
kurikulum.
Kondisi ini semakin diperparah ketika proses birokratisasi ikut memasuki
jejaring organisasi guru. Sebagian pengurusnya dikuasai oleh kalangan
birokrasi. Akibatnya, organisasi yang diharapkan mampu membangun komunitas guru
yang intelektual-transformatif dan melindungi gerakan pembaruan intelektual
guru, justru jadi bagian dari rezim birokrasi yang "mengebiri"
kemerdekaan profesi guru.
Penunggalan organisasi guru menjadi bagian dari agenda penguatan kekuasaan
birokrasi yang tak terlepas dari kepentingan politik kekuasaan yang lebih besar
lagi. Bisa dibayangkan, guru menjadi tidak cerdas dan tumpul pemikirannya
justru oleh ulah organisasinya sendiri. Sungguh ironis!
Debirokratisasi
Program kualifikasi, sertifikasi, dan pemberian tunjangan kesejahteraan kepada
guru jelas bukan jawaban satu-satunya untuk membangun kualitas guru. Tanpa
disertai gerakan debirokratisasi profesi guru, sulit rasanya kesejatian
kualitas guru akan terbangun.
Oleh karena itu, profesionalisme guru harus dibangun bersamaan dengan dorongan
untuk membangun keberanian guru melibatkan diri dalam setiap pengambilan
kebijakan pendidikan, bebas menyampaikan berbagai pandangan profesinya,
mengkritik, bebas berekspresi dan bebas berserikat sebagai wujud kemandirian
profesinya. Bagaimana semua itu dapat diwujudkan?
Beberapa pasal dalam UU Guru dan Dosen ternyata menjadikan debirokratisasi
profesi guru sebagai bagian penting dari upaya peningkatan kualitas guru. Pasal
14 Ayat 1 Butir (i) menyebutkan: Dalam menjalankan tugas keprofesionalan, guru
berhak memperoleh kesempatan untuk berperan dalam penentuan kebijakan
pendidikan.
Klausul ini mempertegas hak guru untuk terlibat dalam setiap pengambilan
kebijakan pendidikan, mulai dari tingkat sekolah sampai penentuan kebijakan
pendidikan di tingkat provinsi maupun pemerintahan pusat. Guru tidak boleh lagi
ditempatkan sebagai bawahan yang hanya menerima berbagai kebijakan birokrasi,
tetapi harus duduk bersama untuk merumuskan kebijakan yang partisipatif.
Pada pasal yang sama Butir (h) disebutkan: Guru berhak memiliki kebebasan untuk
berserikat dalam organisasi profesi guru. Pasal ini diperkuat oleh Pasal 41
Ayat 1 yang menyebutkan bahwa: Guru dapat membentuk organisasi profesi yang
bersifat independen, juga Pasal 1 Butir (13) yang menyebutkan: Organisasi
profesi guru adalah perkumpulan berbadan hukum yang didirikan dan diurus oleh
guru untuk mengembangkan profesionalitas guru.
Ketiga pasal ini mempertegas kemandirian guru untuk bebas berorganisasi dan
melepaskan diri dari kepentingan kekuasaan birokrasi. Pasal 1 Butir (13)
mempertegas bahwa siapa pun yang bukan guru tidak dibenarkan mendirikan dan
mengurus organisasi guru, seperti yang selama ini banyak dilakukan oleh
birokrasi atau bahkan para petualang politik.
UU Guru dan Dosen juga memberikan perlindungan hukum kepada guru dari tindakan
sewenang-wenang birokrasi, baik dalam bentuk ancaman maupun intimidasi atas
kebebasan guru untuk menyampaikan pandangan profesinya, kebebasan
berserikat/berorganisasi, keterlibatan dalam penentuan kebijakan pendidikan dan
pembelaan hak-hak guru.
Pasal 39 Ayat 3 menegaskan bahwa guru mendapat perlindungan hukum dari tindak
kekerasan, ancaman, perlakuan diskriminatif, intimidasi atau perlakuan tidak
adil dari pihak birokrasi atau pihak lain. Ayat 4 pada pasal yang sama secara
tegas memberi perlindungan profesi kepada guru terhadap pembatasan dalam
menyampaikan pandangan, pelecehan terhadap profesi dan terhadap
pembatasan/pelarangan lain yang dapat menghambat guru dalam melaksanakan tugas.
UU Guru dan Dosen cukup mendorong proses debirokratisasi profesi guru. Ruang
kebebasan guru tanpa harus dibayangi ketakutan pada kekuasaan birokrasi kini
mulai terbuka lebar. Birokrasi kekuasaan harus menerima perubahan paradigma
yang ditawarkan undang-undang ini. Guru harus berani menempati ruang tersebut.
Karena itu, jangan pernah takut lagi untuk menjadi guru yang kreatif! http://nadhirin.blogspot.com/
Kalian
tentunya pernah ngelihat sebuah iklan di televisi yang kejadiannya kurang lebih
begini:
“Hai bud ini kertasnya” Rudi berbisik sambil melemparkan sebuah kertas
lucek yang diremas. Lalu budi menggambilnya dan menuliskan sesuatu dikertas itu
dan mengembalikannya pada Rudi. Ternyata di kertas itu Budi menuliskan : “Mau pintar?? Makanya belajar”
Dan Akhirnya Rudi pun ketahuan guru yang mengawasi jalannya ujian, Rudi pun
hanya bias cengar-cengir.
Ngepek, nyontek, nurun, dan kawan-kawannya adalah telah kita pahami bersama,
bahwa hal itu adalah melakukan kecurangan saat ujian atau ulangan. Caranya
macam-macam, mulai dari menulis kunci jawaban di kertas, meja, bangku, HP, atau
yang parah adalah menulis di anggota badan, entah itu di daerah kaki, tangan,
tau daerah perut lalu mebukaknya saat ujian berlangsung, bekerja sama dengan
teman, atau yang lebih hebat adalah membuka buku saat pelaksanaan ulangan
(kecuali kalau ulanagnnya bersifat open book). Dan saya yakin, saya pernah
melakukannya, baik waktu masih di SD, SMP, SMA, atau sampai kuliah saat ini. Mudah-mudahan
kalian tidak.
Ada baiknya kalau saya boleh bertanya kepada kalian semua, kira-kira apa sih
yang sedang banyak-banyak terjadi di Negara Indonesia tercinta kita ini dan
membudidaya dan mungkin dilestarikan oleh orang Indonesia, baik dari golongan pemerintahan
atau sampai tukang tambal ban sekalipun itu??
Kalau kalian menjawab KORUPSI, saya yakin 99% jawaban kalian bener.
Dan ketika saya mengajak kalian untuk membahas dampak dari koropsi, maka kita
sudah hapal di luar kepala. Mulai dari kelaparan, kekeringan, putus sekolah,
dan sebagainya, mungkin lebih parah lagi kematian. Tapi kalau saya ajak mikir
kenapa hati nurani mereka bisa tertutup alias membatu ketika melakukan
perbuatan haram yang disebut korupsi tersebut. Padahal sebenarnya dalam diri manusia
ada organ tubuh yang bernama hati yang tidak pernah berdusta sekalipun. Saya
ambil contoh, ketika ada orang yang meminta-minta dijalan, apa suara hati kita?
Pada saat itu suara hati yang timbul dalam hati nurani kita adalah kasihan dan
ingin membantunya supaya beban hidupnya tidak seberat itu. Tapi suatu saat ada
semacam penutup hati yang menyebabkan hati yang jujur tersebut tidak mampu kita
dengar. Penutup itulah yang disebut EGO.
Lalu apa sebabnya perbuatn itu masih saja terjadi di negara tercinta kita,
karean belum disadari bahwa korupsi adalah perbuatan yang merugikan.
Sesungguhnya itu adalah disebabkan adanya kebiasan buruk yang terus
diulang-ulang dan berlangsung dalam waktu yang cukup lama. Karena keburukan itu
diulang-ulang, akhirnya menjadi kebiasaan yang dianggap baik. Satu contohnya
adalah, ketika anak kecil melihat adegan pegangan tangan atau ciuman di
televisi, lalu karena perbuatan itu diulang-ulang dan orang tua mereka tidak
pernah mengawasinya dan melakukan koreksi atas perbuatan buruk yang dilihat
oleh buah hatinya, maka sampai dewasa sekalipun ia akan ,menganggap bahwa
ciuman atau pegangan tangan dengan laiki-laki tau perempuan yang bukan
muhrimnya adalah bukan perbuatan tercela dan berdosa.
So, sebenarnya ada hubungan apa sih sama diri kita??
Kalau ada pertanyaan, sebenarnya sama tidak sih KORUPSI dengan MENYONTEK?
KORUPSI = MENYONTEK?
Rasanya saya tidak perlu bahas lagi contoh-contoh budaya ketidak jujuran ini,
mulai dari menyontek yang dilakukan berjama’ah antara murid dengan murid dan
dengan gurunya, guru yang ketahuan mencuri soal UAN, praktek jual beli ijazah,
dan kawan-kawannya.
Jadi sudah jelas bahwa penyebab korupsi marak terjadi di Indonesia adalah
karena bibit-bibit puntra-putrinya saja telah melakukan tindakan korupsi kecil-kecilan
yang disebut nyontek itu sejak dari bangku sekolah. (gimana kalau sudah
sukses??).
Saya yakin semua agama tidak ada yang menganjurkan untuk melakukan hal yang
positif dengan menghalalkan segala cara. Kesuksesan adalah dimana kita
menyadari kekurangan diri kita dan mengoreksinya agar suatu ketika bila kita
menghadapi masalah yang sama dapat mengatasinya denga baik. Ingat!!! Bukan
menutupi kekurangan kita dengan kebobrokan orang lain. Yakinlah dengan
kemampuan diri kita. Kita bisa.. Kita bisa…
“..Sesungguhnya Allah tidak merobah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka
merobah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri…” (QS Ar-Ra’d ayat 11)
“Kesuksesan itu tidak dilihat dari beberapa kali mereka mendapat kegagalan,
tapi dilihat dari berapa kali ia bangkit dari kegagalan” (Abu Bakar RA)
“Jujur adalah mata uang yang berlaku dimana-mana” (Pepatah)
Dalam dunia pendidikan, terutama
dalam kegiatan belajar, seperti yang sudah saya bahas dalam tulisan terdahulu, bahwa kelangsungan dan keberhasilan
proses belajar mengajar bukan hanya dipengaruhi oleh faktor intelektual saja,
melainkan juga oleh faktor-faktor nonintelektual lain yang tidak kalah penting
dalam menentukan hasil belajar seseorang, salah satunya adalah kemampuan
seseorang siswa untuk memotivasi dirinya. Mengutip pendapat Daniel Goleman
(2004: 44), kecerdasan intelektual (IQ) hanya menyumbang 20% bagi kesuksesan,
sedangkan 80% adalah sumbangan faktor kekuatan-kekuatan lain, diantaranya
adalah kecerdasan emosional atau Emotional Quotient (EQ) yakni kemampuan
memotivasi diri sendiri, mengatasi frustasi, mengontrol desakan hati, mengatur
suasana hati (mood), berempati serta kemampuan bekerja sama.
Motivasi
sangat penting artinya dalam kegiatan belajar, sebab adanya motivasi mendorong
semangat belajar dan sebaliknya kurang adanya motivasi akan melemahkan semangat
belajar. Motivasi merupakan syarat mutlak dalam belajar; seorang siswa yang belajar
tanpa motivasi (atau kurang motivasi) tidak akan berhasil dengan maksimal.
Motivasi
memegang peranan yang amat penting dalam belajar, Maslow (1945) dengan teori
kebutuhannya, menggambarkan hubungan hirarkhis dan berbagai kebutuhan, di ranah
kebutuhan pertama merupakan dasar untuk timbul kebutuhan berikutnya. Jika
kebutuhan pertama telah terpuaskan, barulah manusia mulai ada keinginan untuk
memuaskan kebutuhan yang selanjutnya. Pada kondisi tertentu akan timbul
kebutuhan yang tumpang tindih, contohnya adalah orang ingin makan bukan karena
lapar tetapi karena ada kebutuhan lain yang mendorongnya. Jika suatu kebutuhan
telah terpenuhi atau perpuaskan, itu tidak berarti bahwa kebutuhan tesebut
tidak akan muncul lagi untuk selamanya, tetapi kepuasan itu hanya untuk
sementara waktu saja. Manusia yang dikuasai oleh kebutuhan yang tidak
terpuaskan akan termotivasi untuk melakukan kegiatan guna memuaskan kebutuhan
tersebut (Maslow, 1954).
Dalam
implikasinya pada dunia belajar, siswa atau pelajar yang lapar tidak akan
termotivasi secara penuh dalam belajar. Setelah kebutuhan yang bersifat fisik
terpenuhi, maka meningkat pada kebutuhan tingkat berikutnya adalah rasa aman.
Sebagai contoh adalah seorang siswa yang merasa terancam atau dikucilkan baik
oleh siswa lain mapun gurunya, maka ia tidak akan termotivasi dengan baik dalam
belajar. Ada kebutuhan yang disebut harga diri, yaitu kebutuhan untuk merasa
dipentingkan dan dihargai. Seseorang siswa yang telah terpenuhi kebutuhan harga
dirinya, maka dia akan percaya diri, merasa berharga, marasa kuat, merasa
mampu/bisa, merasa berguna dalam didupnya. Kebutuhan yang paling utama atau
tertinggi yaitu jika seluruh kebutuhan secara individu terpenuhi maka akan
merasa bebas untuk menampilkan seluruh potensinya secara penuh. Dasarnya untuk
mengaktualisasikan sendiri meliputi kebutuhan menjadi tahu, mengerti untuk
memuaskan aspek-aspek kognitif yang paling mendasar.
Guru sebagai
seorang pendidik harus tahu apa yang diinginkan oleh para sisiwanya. Seperti
kebutuhan untuk berprestasi, karena setiap siswa memiliki kebutuhan untuk
berprestasi yang berbeda satu sama lainnya. Tidak sedikit siswa yang memiliki
motivasi berprestasi yang rendah, mereka cenderung takut gagal dan tidak mau
menanggung resiko dalam mencapai prestasi belajar yang tinggi. Meskipun banyak
juga siswa yang memiliki motivasi untuk berprestasi yang tinggi. Siswa memiliki
motivasi berprestasi tinggi kalau keinginan untuk sukses benar-benar berasal
dari dalam diri sendiri. Siswa akan bekerja keras baik dalam diri sendiri
maupun dalam bersaing dengan siswa lain.
Siswa yang
datang ke sekolah memiliki berbagai pemahaman tentang dirinya sendiri secara
keseluruhan dan pemahaman tentang kemampuan mereka sendiri khususnya. Mereka
mempunyai gambaran tertentu tentang dirinya sebagai manusia dan tentang
kemampuan dalam menghadapi lingkungan. Ini merupakan cap atau label yang
dimiliki siswa tentang dirinya dan kemungkinannya tidak dapat dilihat oleh guru
namun sangat mempengaruhi kegiatan belajar siswa. Gambaran itu mulai terbentuk
melalui interaksi dengan orang lain, yaitu keluarga dan teman sebaya maupun
orang dewasa lainnya, dan hal ini mempengaruhi prestasi belajarnya di sekolah.
Berdasarkan
pandangan di atas dapat diambil pengertian bahwa siswa datang ke sekolah dengan
gambaran tentang dirinya yang sudah terbentuk. Meskipun demikian adanya, guru
tetap dapat mempengaruhi mapun membentuk gambarang siswa tentang dirinya itu,
dengan tujuan agar tercapai gambarang tentang masing-masing siswa yang lebih
positif. Apabila seorang guru suka mengkritik, mencela, atau bahkan merendahkan
kemampuan siswa, maka siswa akn cenderung menilai diri mereka sebagai seorang
yang tidak mampu berprestasi dalam belajar. Hal ini berlaku terutama bagi
anak-anak TK atau SD yang masih sangat muda. Akibatnya minat belajar menjadi
turun. Sebaliknya jika guru memberikan penhargaan, bersikap mendukung dalam
menilai prestasi siswa, maka lebih besar kemungkinan siswa-siswa akan menilai
dirinya sebagai orang yang mampu berprestasi. Penghargaan untuk berprestasi merupakan
dorongan untuk memotivasi siswa untuk belajar. Dorongan intelektual adalah
keinginan untuk mencapai suatu prestasi yang hebat, sedangkan dorongan untuk
mencapai kesuksesan termasuk kebutuhan emosional, yaitu kebutuhan untuk
berprestasi.
Mengutip
pendapat Mc. Donald (Tabrani, 1992: 100), “motivation is energy change within
the person characterized by affective arousal and anticipatory goal reaction.”
Motivasi adalah sesuatu perubahan energi di dalam pribadi seseorang yang
ditandai dengan timbulnya afektif dan reaksi untuk mencapai tujuan. Dari
perumusan yang dikemukakan Mc. Donald ini mengandung tiga unsur yang saling
berkaitan, yaitu: 1) motivasi dimulai dari adanya perubahan energi dalam
pribadi, 2) motivasi ditandai dengan timbulnya perasaan (affective arousal), 3)
motivasi ditandai oleh reaksi-reaksi untuk mencapai tujuan.
Dari uraian
di atas jelas kiranya bahwa motivasi bertalian erat dengan suatu tujuan. Makin
berharga tujuan itu bagi yang bersangkutan, makin kuat pula motivasinya. Jadi
motivasi itu sangat berguna bagi tindakan atau perbuatan seseorang. Penjelasan
mengenai fungsi-fungsi motivasi adalah:
1. Mendorong manusia untuk bertindak/berbuat. Motivasi berfungsi sebagai
pengerak atau motor yang memberikan energi/kekuatan kepada seseorang untuk
melakukan sesuatu.
2. Menentukan arah perbuatan. Yakni ke arah perwujudan tujuan atau cita-cita.
Motivasi mencegah penyelewengan dari jalan yang harus ditempuh untuk mencapai
tujuan. Makin jelas tujuan itu, makin jelas pula jalan yang harus ditempuh.
3. Menyeleksi perbuatan. Artinya menentukan perbuatan-perbuatan mana yang harus
dilakukan, yang serasi, guna mencapai tujuan itu dengan menyampingkan perbuatan
yang tidak bermanfaat bagi tujuan. (Ngalim Purwanto, 2002: 71)
Jenis-jenis
motivasi 1. Motivasi intrinsik, yang timbul dari dalam diri individu, misalnya
keinginan untuk mendapat keterampilan tertentu, memperolah informasi dan
pengertian, mengembangkan sikap untuk berhasil, menyenangi kehidupan, keinginan
diterima oleh orang lain. 2. Motivasi ekstrinsik, yang timbul akibat adanya pengaruh dari luar
individu. Sperti hadiah, pujian, ajakan, suruhan, atau paksaan dari orang lain
sehingga dengan keadaan demikian orang mau melakukan sesuatu. (Tabrani, 1992:
120)
Lalu
bagaimanakan cara untuk meningkatkan motivasi siswa agar mereka memiliki
motivasi berprestasi yang tinggi, khususnya bagi mereka yang memiliki motivasi
rendah dalam berprestasi. Ada beberapa strategi yang bisa digunakan oleh guru
untuk menumbuhkan motivasi belajar siswa, sebagai berikut:
1.
Menjelaskan tujuan belajar ke peserta didik. Pada permulaan belajar mengajar hendaknya seorang
guru menjelaskan mengenai Tujuan Instruksional Khusus (TIK) yang akan dicapai
siswa. Tidak cukup sampai di situ saja, tapi guru juga bisa memberikan
penjelasan tentang pentingnya ilmu yang akan sangat berguna bagi masa depan
seseorang, baik dengan norma agama maupun sosial. Makin jelas tujuan, maka
makin besar pula motivasi dalam belajar.
2. Hadiah. Berikan hadian untuk siswa-siwa
yang berprestasi. Hal ini akan sangat memacu siswa untuk lebih giat dalam
berprestasi, dan bagi siswa yang belum berprestasi akan termotivasi untuk
mengejar atau bahkan mengungguli siswa yang telah berprestasi. Hadiah di sini
tidak perlu harus yang besar dan mahal, tapi bisa menimbulkan rasa senag pada
murid, sebab merasa dihargai karena prestasinya. Kecuali pada setiap akhir
semester, guru bisa memberikan hadiah yang lebih istimewa (seperti buku bacaan)
bagi siswa ranking 1-3.
3.
Saingan/kompetisi. Guru
berusaha mengadakan persaingan di antara siswanya untuk meningkatkan prestasi
belajarnya, berusaha memperbaiki hasil prestasi yang telah dicapai sebelumnya.
4. Pujian. Sudah sepantasnya siswa yang
berprestasi untuk diberikan penghargaan atau pujian. Tentunya pujian yang
bersifat membangun. Bisa dimulai dari hal yang paling kecil seperti, “beri
tepuk tangan bagi si Budi…”, “kerja yang bagus…”, “wah itu kamu bisa…”.
5. Hukuman. Hukuman diberikan kepada siswa yang
berbuat kesalahan saat proses belajar mengajar. Hukuman ini diberikan dengan
harapan agar siswa tersebut mau merubah diri dan berusaha memacu motivasi
belajarnya. Hukuman di sini hendaknya yang mendidik, seperti menghafal,
mengerjakan soal, ataupun membuat rangkuaman. Hendaknya jangan yang bersifat
fisik, seperti menyapu kelas, berdiri di depan kelas, atau lari memutari
halaman sekolah. Karena ini jelas akan menganggu psikis siswa.
6.
Membangkitkan dorongan kepada anak didik untuk belajar. Strateginya adalah dengan
memberikan perhatian maksimal ke peserta didik, khususnya bagi mereka yang
secara prestasi tertinggal oleh siswa lainnya. Di sini guru dituntut untuk bisa
lebih jeli terhadap kondisi anak didiknya. Ingat ini bukan hanya tugas guru
bimbingan konseling (BK) saja, tapi merupakan kewajiban setiap guru, sebagai
orang yang telah dipercaya orang tua siswa untuk mendidik anak mereka.
7. Membentuk
kebiasaan belajar yang baik. Ajarkan kepada siswa cara belajar yang baik, entah
itu ketika siswa belajar sendiri maupun secara kelompok. Dengan cara ini siswa
diharapkan untuk lebih termotivasi dalam mengulan-ulang pelajaran ataupun
menambah pemahaman dengan buku-buku yang mendukung.
8. Membantu
kesulitan belajar anak didik secara individual maupun kelompok. Ini bisa dilakukan seperti pada
nomor 6.
9.
Menggunakan metode yang bervariasi. Guru hendaknya memilih metode belajar yang tepat dan
berfariasi, yang bisa membangkitkan semangat siswa, yang tidak membuat siswa
merasa jenuh, dan yang tak kalah penting adalah bisa menampung semua
kepentingan siswa. Sperti Cooperative Learning, Contectual Teaching &
Learning (CTL), Quantum Teaching, PAKEM, mapun yang lainnya. Karena siswa
memiliki tingkat intelegensi yang berbeda-beda satu sama lainnya. Ada siswa
yang hanya butuh 5 menit untuk memahami suatu materi, tapi ada siswa yang
membutuhkan 25 menit baru ia bisa mencerna materi. Itu contoh mudahnya. Semakin
banyak metode mengajar yang dikuasai oleh seorang guru, maka ia akan semakin
berhasil meningkatkan motivasi belajar siswa.
10.
Menggunakan media yang baik dan sesuai dengan tujuan pembelajaran. Baik itu media visual maupun audio
visual.
Sumber
Bacaan:
Goleman, Daniel, Emitional Intelligence Kecerdasan Emosional Mengapa EQ Lebih
Penting Daripada IQ, Jakata: PT Gramedia Pustaka Utama, 2004.
Ngalim Purwanto, Psikologi Pendidikan, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2002.
Tabrani Rusyan, Pendekatan dalam Proses Belajar Mengajar, Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya, 2001.http://nadhirin.blogspot.com/
Malas
belajar pada anak secara psikologis merupakan wujud dari melemahnya kondisi
mental, intelektual, fisik, dan psikis anak. Malas belajar timbul dari beberapa
faktor, untuk lebih mudahnya terbagi menjadi dua faktor besar, yaitu: 1) faktor
intrinsik ( dari dalam diri anak), dan 2) Faktor ekstrinsik (faktor dari luar
anak).
1. Dari Dalam Diri Anak (Intrinsik)
Rasa malas untuk belajar yang timbul dari dalam diri anak dapat disebabkan
karena kurang atau tidak adanya motivasi diri. Motivasi ini kemungkinan belum
tumbuh dikarenakan anak belum mengetahui manfaat dari belajar atau belum ada
sesuatu yang ingin dicapainya. Selain itu kelelahan dalam beraktivitas dapat
berakibat menurunnya kekuatan fisik dan melemahnya kondisi psikis. Sebagai
contoh, terlalu lama bermain, terlalu banyak mengikuti les ini dan les itu,
terlalu banyak mengikuti ekstrakulikuler ini dan itu, atau membantu pekerjaan orangtua
di rumah, merupakan faktor penyebab menurunnya kekuatan fisik pada anak. Contoh
lainnya, terlalu lama menangis, marah-marah (ngambek) juga akan berpengaruh
pada kondisi psikologis anak.
2. Dari Luar Anak (Ekstrinsik)
Faktor dari luar anak yang tidak kalah besar pengaruhnya terhadap kondisi anak
untuk menjadi malas belajar. Hal ini terjadi karena:
a. Sikap Orang Tua
Sikap orang tua yang tidak memberikan perhatian dalam belajar atau sebaliknya
terlalu berlebihan perhatiannya, bisa menyebabkan anak malas belajar. Tidak
cukup di situ, banyak orang tua di masyarakat kita yang menuntut anak untuk
belajar hanya demi angka (nilai) dan bukan mengajarkan kepada anak akan
kesadaran dan tanggung jawab anak untuk belajar selaku pelajar. Akibat dari
tuntutan tersebut tidak sedikit anak yang stress dan sering marah-marah
(ngambek) sehingga nilai yang berhasil ia peroleh kurang memuaskan. Parahnya
lagi, tidak jarang orang tua yang marah-marah dan mencela anaknya bilamana anak
mendapat nilai yang kuang memuaskan. Menurut para pakar psikologi, sebenarnya
anak usia Sekolah Dasar janga terlalu diorentasikan pada nilai (hasil belajar),
tetapi bagaimana membiasakan diri untuk belajar, berlatih tanggung jawab, dan
berlatih dalam suatu aturan.
b. Sikap Guru
Guru selaku tokoh teladan atau figur yang sering berinteraksi dengan anak dan
dibanggakan oleh mereka, tapi tidak jarang sikap guru di sekolah juga menjadi
objek keluhan siswanya. Ada banyak macam penyebabnya, mulai dari ketidaksiapan
guru dalam mengajar, tidak menguasai bidang pelajaran yang akan diajarkan, atau
karena terlalu banyak memberikan tugas-tugas dan pekerjaan rumah. Selain itu,
sikap sering terlambat masuk kelas di saat mengajar, bercanda dengan
siswa-siswa tertentu saja atau membawa masalah rumah tangga ke sekolah, membuat
suasana belajar semakin tidak nyaman, tegang dan menakutkan bagi siswa
tertentu.
c. Sikap Teman
Ketikan seorang anak berinteraksi dengan teman-temannya di sekolah, tentunya
secara langsung anak bisa memperhatikan satu sama lainnya, sikap, perlengkapan
sekolah, pakaian dan asesoris-asesoris lainnya. Tapi sayangnya tidak semua
teman di sekolah memiliki sikap atau perilaku yang baik dengan teman-teman
lainnya. Seorang teman yang berlebihan dalam perlengkapan busana sekolah atau
perlengkapan belajar, seperti sepatu yang bermerk yang tidak terjangkau oleh
teman-teman lainnya, termasuk tas sekolah dan alat tulis atau sepeda dan mainan
lainnya, secara tidak langsung dapat membuat iri teman-teman yang kurang mampu.
Pada akhirnya ada anak yang menuntut kepada orang tuanya untuk minta dibelikan
perlengkapan sekolah yang serupa dengan temannya. Bilamana tidak dituruti maka
dengan cara malas belajarlah sebagai upaya untuk dikabulkan permohonannya.
d. Suasana Belajar di Rumah
Bukan suatu jaminan rumah mewah dan megah membuat anak menjadi rajin belajar,
tidak pula rumah yang sangat sederhana menjadi faktor mutlak anak malas
belajar. Rumah yang tidak dapat menciptakan suasana belajar yang baik adalah
rumah yang selalu penuh dengan kegaduhan, keadaan rumah yang berantakan ataupun
kondisi udara yang pengap. Selain itu tersedianya fasilitas-fasilitas permainan
yang berlebihan di rumah juga dapat mengganggu minat belajar anak. Mulai dari
radio tape yang menggunakan kaset, CD, VCD, atau komputer yang diprogram untuk
sebuah permainan (games), seperti Game Boy, Game Watch maupun Play Stations.
Kondisi seperti ini berpotensi besar untuk tidak terciptanya suasana belajar
yang baik.
e. Sarana Belajar
Sarana belajar merupakan media mutlak yang dapat mendukung minat belajar,
kekurangan ataupun ketiadaan sarana untuk belajar secara langsung telah
menciptakan kondisi anak untuk malas belajar. Kendala belajar biasanya muncul
karena tidak tersedianya ruang belajar khusus, meja belajar, buku-buku
penunjang (pustaka mini), dan penerangan yang bagus. Selain itu, tidak
tersediannya buku-buku pelajaran, buku tulis, dan alat-alat tulis lainnya,
merupakan bagian lain yang cenderung menjadi hambatan otomatis anak akan
kehilangan minat belajar yang optimal.
Enam langkan untuk mengatasi mals belajar pada anak dan membantu orangtua dalam
membimbing dan mendampingi anak yang bermasalah dalam belajar antara lain:
1. Mencari Informasi
Orangtua sebaiknya bertanya langsung kepada anak guna memperoleh informasi yang
tepat mengenai dirinya. Carilah situasi dan kondisi yang tepat untuk dapat
berkomunikasi secara terbuka dengannya. Setelah itu ajaklah anak untuk
mengungkapkan penyebab ia malas belajar. Pergunakan setiap suasana yang santai
seperti saat membantu ibu di dapur, berjalan-jalan atau sambil bermain, tidak
harus formal yang membuat anak tidak bisa membuka permasalahan dirinya.
2. Membuat Kesepakatan bersama antara orang tua dan anak.
Kesepakatan dibuat untuk menciptakan keadaan dan tanggung jawab serta
memotivasi anak dalam belajar bukan memaksakan kehendak orang tua. Kesepakatan
dibuat mulai dari bangun tidur hingga waktu hendak tidur, baik dalam hal
rutinitas jam belajar, lama waktu belajar, jam belajar bilamana ada PR atau
tidak, jam belajar di waktu libur sekolah, bagaimana bila hasil belajar baik
atau buruk, hadiah atau sanksi apa yang harus diterima dan sebagainya. Kalaupun
ada sanksi yang harus dibuat atau disepakati, biarlah anak yang menentukannya
sebagai bukti tanggungjawabnya terhadap sesuatu yang akan disepakati bersama.
3. Menciptakan Disiplin.
Bukanlah suatu hal yang mudah untuk menciptakan kedisiplinan kepada anak jika
tidak dimulai dari orang tua. Orang tua yang sudah terbiasa menampilkan
kedisiplinan dalam kehidupan sehari-hari akan dengan mudah diikuti oleh
anaknya. Orang tua dapat menciptakan disiplin dalam belajar yang dilaksanakan
secara konsisten dan berkesinambungan. Latihan kedisiplinan bisa dimulai dari
menyiapkan peralatan belajar, buku-buku pelajaran, mengingatkan tugas-tugas
sekolah, menanyakan bahan pelajaran yang telah dipelajari, ataupun menanyakan
kesulitan-kesulitan yang dihadapi dalam suatu pelajaran tertentu, terlepas dari
ada atau tidaknya tugas sekolah.
4. Menegakkan Kedisiplinan.
Menegakkan kedisiplinan harus dilakukan bilamana anak mulai meninggalkan
kesepakatan-kesepakatan yang telah disepakati. Bilamana anak melakukan
pelanggaran sedapat mungkin hindari sanksi yang bersifat fisik (menjewer,
menyentil, mencubit, atau memukul). Untuk mengalihkannya gunakanlah
konsekuensi-konsekuensi logis yang dapat diterima oleh akal pikiran anak. Bila
dapat melakukan aktivitas bersama di dalam satu ruangan saat anak belajar,
orang tua dapat sambil membaca koran, majalah, atau aktivitas lain yang tidak
mengganggu anak dalam ruang tersebut. Dengan demikian menegakkan disiplin pada
anak tidak selalu dengan suruhan atau bentakan sementara orang tua melaksanakan
aktifitas lain seperti menonton televisi atau sibuk di dapur.
5. Ketegasan Sikap
Ketegasan sikap dilakukan dengan cara orang tua tidak lagi memberikan toleransi
kepada anak atas pelanggaran-pelanggaran yang dilakukannya secara
berulang-ulang. Ketegasan sikap ini dikenakan saat anak mulai benar-benar
menolak dan membantah dengan alasan yang dibuat-buat. Bahkan dengan sengaja
anak berlaku ’tidak jujur’ melakukan aktivitas-aktivitas lain secara sengaja
sampai melewati jam belajar. Ketegasan sikap yang diperlukan adalah dengan
memberikan sanksi yang telah disepakati dan siap menerima konsekuensi atas
pelanggaran yang dilakukannya.
6. Menciptakan Suasana Belajar
Menciptakan suasana belajar yang baik dan nyaman merupakan tanggung jawab
orangtua. Setidaknya orang tua memenuhi kebutuhan sarana belajar, memberikan
perhatian dengan cara mengarahkan dan mendampingi anak saat belajar. Sebagai
selingan orangtua dapat pula memberikan permainan-permainan yang mendidik agar
suasana belajar tidak tegang dan tetap menarik perhatian.
Ternyata malas belajar yang dialami oleh anak banyak disebabkan oleh berbagai
faktor. Oleh karena itu sebelum anak terlanjur mendapat nilai yang tidak
memuaskan dan membuat malu orangtua, hendaknya orang tua segera menyelidiki dan
memperhatikan minat belajar anak. Selain itu, menumbuhkan inisiatif belajar
mandiri pada anak, menanamkan kesadaran serta tanggung jawab selaku pelajar
pada anak merupakan hal lain yang bermanfaat jangka panjang. Jika enam langkah
ini dapat diterapkan pada anak, maka sudah seharusnya tidak adalagi keluhan
dari orang tua tentang anaknya yang malas belajar atau anak yang ngambek karena
selalu dimarahi orang tuanya.
Pembelajaran
Aktif merupakan sebuah konsep pembelajaran yang dipandang sesuai dengan
tuntutan pembelajaran mutakhir. Oleh karena itu, setiap sekolah seyogyanya
dapat mengimplementasikan dan mengembangkan pembelajaran aktif ini dengan
sebaik mungkin. Dengan merujuk pada gagasan dari Pusat Kurikulum Balitbang
Kemendiknas (2010), berikut ini disajikan sejumlah indikator atau ciri-ciri sekolah
yang telah melaksanakan proses pembelajaran aktif ditinjau dari aspek: (a)
ekspektasi sekolah, kreativitas, dan inovasi; (b) sumber daya manusia; (c)
lingkungan, fasilitas, dan sumber belajar; dan (d) proses belajar-mengajar dan
penilaian.
A. EKSPEKTASI SEKOLAH, KREATIVITAS, DAN INOVASI
Prestasi belajar peserta didik lebih ditekankan pada ”menghasilkan” daripada
”memahami”.
Sekolah menyelenggarakan ajang ‘kompetisi’ yang mendidik dan sehat.
Sekolah ramah lingkungan (misalnya; ada tanaman atau pohon, po bunga, tempat
sampah)
Lebih baik lagi jika terdapat produk/karya peserta didik yang mempunyai nilai
artistik dan ekonomis/kapital untuk dijual.
Lebih baik jika ada pameran karya peserta didik dalam kurun waktu tertentu,
misalnya sekali dalam satu tahun.
Karya peserta didik lebih dominan daripada pemasangan beragam atribut sekolah.
Kehidupan sekolah terasa lebih ramai, ceria, dan riang.
Sekolah rapi, bersih, dan teratur.
Komunitas sekolah santun, disiplin, dan ramah.
Animo masuk ke sekolah itu makin meningkat.
Sekolah menerapkan seleksi khusus untuk menerima peserta didik baru.
Ada forum penyaluran keluhan peserta didik.
Iklim sekolah lebih demokratis.
Diselenggarakan lomba-lomba antarkelas secara berkala dan di tingkat pendidikan
menengah ada lomba karya ilmiah peserta didik.
Ada program kunjungan ke sumber belajar di masyarakat.
Kegiatan belajar pada silabus dan RPP menekankan keterlibatan peserta didik
secara aktif.
Peserta didik mengetahui dan dapat menjelaskan tentang lingkungan sekolah
(misalnya, nama guru, nama kepala sekolah, dan hal-hal umum di sekolah itu).
Ada program pelatihan internal guru (inhouse training) secara rutin.
Ada forum diskusi atau musyawarah antara kepala sekolah dan guru maupun tenaga
kependidikan lainnya secara rutin.
Ada program tukar pendapat, diskusi atau musyawarah dengan mitra dari berbagai
pihak yang terkait (stakeholders).
B. SUMBER DAYA MANUSIA
Kepala sekolah peduli dan menyediakan waktu untuk menerima keluhan dan saran
dari peserta didik maupun guru.
Kepala sekolah terbuka dalam manajemen, terutama manajemen keuangan kepada guru
dan orang tua/komite sekolah.
Guru berperan sebagai fasilitator dalam proses belajar.
Guru mengenal baik nama-nama peserta didik.
Guru terbuka kepada peserta didik dalam hal penilaian.
Sikap guru ramah dan murah senyum kepada peserta didik, dan tidak ada kekerasan
fisik dan verbal kepada peserta didik.
Guru selalu berusaha mencari gagasan baru dalam mengelola kelas dan
mengembangkan kegiatan belajar.
Guru menunjukkan sikap kasih sayang kepada peserta didik.
Peserta didik banyak melakukan observasi di lingkungan sekitar dan terkadang
belajar di luar kelas.
Peserta didik berani bertanya kepada guru.
Peserta didik berani dalam mengemukakan pendapat.
Peserta didik tidak takut berkomunikasi dengan guru.
Para peserta didik bekerja sama tanpa memandang perbedaan suku, ras, golongan,
dan agama.
Peserta didik tidak takut kepada kepala sekolah.
Peserta didik senang membaca di perpustakaan dan ada perilaku cenderung berebut
ingin membaca buku bila datang mobil perpustakaan keliling.
Potensi peserta didik lebih tergali serta minat dan bakat peserta didik lebih
mudah terdeteksi.
Ekspresi peserta didik tampak senang dalam proses belajar.
Peserta didik sering mengemukakan gagasan dalam proses belajar.
Perhatian peserta didik tidak mudah teralihkan kepada orang/tamu yang datang ke
sekolah.
C. LINGKUNGAN, FASILITAS, DAN SUMBER BELAJAR
Sumber belajar di lingkungan sekolah dimanfaatkan peserta didik untuk belajar.
Terdapat majalah dinding yang dikelola peserta didik yang secara berkala
diganti dengan karya peserta didik yang baru.
Di ruang kepala sekolah dan guru terdapat pajangan hasil karya peserta didik.
Tidak ada alat peraga praktik yang ditumpuk di ruang kepala sekolah atau ruang
lainnya hingga berdebu.
Buku-buku tidak ditumpuk di ruang kepala sekolah atau di ruang lain.
Frekuensi kunjungan peserta didik ke ruang perpustakaan sekolah untuk
membaca/meminjam buku cukup tinggi.
Di setiap kelas ada pajangan hasil karya peserta didik yang baru.
Ada sarana belajar yang bervariasi.
Digunakan beragam sumber belajar.
D. PROSES BELAJAR-MENGAJAR DAN PENILAIAN
Pada taraf tertentu diterapkan pendekatan integrasi dalam kegiatan belajar
antarmata pelajaran yang relevan.
Tampak ada kerja sama antarguru untuk kepentingan proses belajar mengajar.
Dalam menilai kemajuan hasil belajar guru menggunakan beragam cara sesuai
dengan indikator kompetensi. Bila tuntutan indikator melakukan suatu unjuk
kerja, yang dinilai adalah unjuk kerja. Bila tuntutan indikator berkaitan
dengan pemahaman konsep, yang digunakan adalah alat penilaian tertulis. Bila
tuntutan indikator memuat unsur penyelidikan, tugas (proyek) itulah yang
dinilai. Bila tuntutan indikator menghasilkan suatu produk 3 dimensi, baik
proses pembuatan maupun kualitas, yang dinilai adalah proses pembuatan atau pun
produk yang dihasilkan.
Tidak ada ulangan umum bersama, baik pada tataran sekolah maupun wilayah, pada
tengah semester dan / atau akhir semester, karena guru bersangkutan telah
mengenali kondisi peserta didik melalui diagnosis dan telah melakukan perbaikan
atau pengayaan berdasarkan hasil diagnosis kondisi peserta didik.
Model rapor memberi ruang untuk mengungkapkan secara deskriptif kompetensi yang
sudah dikuasai peserta didik dan yang belum, sehingga dapat diketahui apa yang
dibutuhkan peserta didik.
Guru melakukan penilaian ketika proses belajar-mengajar berlangsung. Hal ini
dilakukan untuk menemukan kesulitan belajar dan kemungkinan prestasi yang bisa
dikembangkan peserta didik dan sekaligus sebagai alat diagnosis untuk menentukan
apakah peserta didik perlu melakukan perbaikan atau pengayaan.
Menggunakan penilaian acuan kriteria, di mana pencapaian kemampuan peserta
didik tidak dibandingkan dengan kemampuan peserta didik yang lain, melainkan
dibandingkan dengan pencapaian kompetensi dirinya sendiri, sebelum dan sesudah
belajar.
Penentuan kriteria ketuntasan belajar diserahkan kepada guru yang bersangkutan
untuk mengontrol pencapaian kompetensi tertentu peserta didik. Dengan demikian,
sedini mungkin guru dapat mengetahui kelemahan dan keberhasilan peserta dalam
kompetensi tertentu.
==========
Sumber: Pusat Kurikulum Balitbang Kemendiknas. 2010. Panduan Pengembangan
Pendekatan Belajar Aktif; Buku I Bahan Pelatihan Penguatan Metodologi
Pembelajaran Berdasarkan Nilai-Nilai Budaya dan Karakter Bangsa. Jakarta.
Note: Ini bukan tulisan saya, lebih
lengkapnya silahkan Anda baca diAKHMAD
SUDRAJAT: TENTANG PENDIDIKAN http://nadhirin.blogspot.com/
Metode
debat merupakan salah satu metode pembelajaran yang sangat penting untuk
meningkatkan kemampuan akademik siswa. Materi ajar dipilih dan disusun menjadi
paket pro dan kontra. Siswa dibagi ke dalam beberapa kelompok dan setiap
kelompok terdiri dari empat orang. Di dalam kelompoknya, siswa (dua orang
mengambil posisi pro dan dua orang lainnya dalam posisi kontra) melakukan
perdebatan tentang topik yang ditugaskan. Laporan masing-masing kelompok yang
menyangkut kedua posisi pro dan kontra diberikan kepada guru.
Selanjutnya
guru dapat mengevaluasi setiap siswa tentang penguasaan materi yang meliputi
kedua posisi tersebut dan mengevaluasi seberapa efektif siswa terlibat dalam
prosedur debat.
Pada dasarnya, agar semua model berhasil seperti yang diharapkan pembelajaran
kooperatif, setiap model harus melibatkan materi ajar yang memungkinkan siswa
saling membantu dan mendukung ketika mereka belajar materi dan bekerja saling
tergantung (interdependen) untuk menyelesaikan tugas. Ketrampilan sosial yang
dibutuhkan dalam usaha berkolaborasi harus dipandang penting dalam keberhasilan
menyelesaikan tugas kelompok. Ketrampilan ini dapat diajarkan kepada siswa dan
peran siswa dapat ditentukan untuk memfasilitasi proses kelompok. Peran
tersebut mungkin bermacam-macam menurut tugas, misalnya, peran pencatat
(recorder), pembuat kesimpulan (summarizer), pengatur materi (material
manager), atau fasilitator dan peran guru bisa sebagai pemonitor proses
belajar.
Metode
Role Playing adalah suatu cara penguasaan bahan-bahan pelajaran melalui
pengembangan imajinasi dan penghayatan siswa. Pengembangan imajinasi dan
penghayatan dilakukan siswa dengan memerankannya sebagai tokoh hidup atau benda
mati. Permainan ini pada umumnya dilakukan lebih dari satu orang, hal itu
bergantung kepada apa yang diperankan. Kelebihan metode Role Playing:
Melibatkan
seluruh siswa dapat berpartisipasi mempunyai kesempatan untuk memajukan
kemampuannya dalam bekerjasama.
Siswa bebas
mengambil keputusan dan berekspresi secara utuh.
Permainan
merupakan penemuan yang mudah dan dapat digunakan dalam situasi dan waktu
yang berbeda.
Guru dapat
mengevaluasi pemahaman tiap siswa melalui pengamatan pada waktu melakukan
permainan.
Permainan
merupakan pengalaman belajar yang menyenangkan bagi anak.
Metode pemecahan masalah (problem
solving) adalah penggunaan metode dalam kegiatan pembelajaran dengan jalan
melatih siswa menghadapi berbagai masalah baik itu masalah pribadi atau
perorangan maupun masalah kelompok untuk dipecahkan sendiri atau secara
bersama-sama.
Orientasi pembelajarannya adalah investigasi dan penemuan yang pada dasarnya
adalah pemecahan masalah.
Adapun keunggulan metode problem
solving sebagai berikut:
Melatih siswa
untuk mendesain suatu penemuan.
Berpikir dan
bertindak kreatif.
Memecahkan
masalah yang dihadapi secara realistis
Mengidentifikasi
dan melakukan penyelidikan.
Menafsirkan dan
mengevaluasi hasil pengamatan.
Merangsang
perkembangan kemajuan berfikir siswa untuk menyelesaikan masalah yang
dihadapi dengan tepat.
Dapat membuat
pendidikan sekolah lebih relevan dengan kehidupan, khususnya dunia kerja.
Kelemahan metode problem solving
sebagai berikut:
Beberapa pokok
bahasan sangat sulit untuk menerapkan metode ini. Misal terbatasnya
alat-alat laboratorium menyulitkan siswa untuk melihat dan mengamati serta
akhirnya dapat menyimpulkan kejadian atau konsep tersebut.
Memerlukan
alokasi waktu yang lebih panjang dibandingkan dengan metode pembelajaran
yang lain.
Problem Based Instruction (PBI)
memusatkan pada masalah kehidupannya yang bermakna bagi siswa, peran guru
menyajikan masalah, mengajukan pertanyaan dan memfasilitasi penyelidikan dan
dialog.
Langkah-langkah:
Guru
menjelaskan tujuan pembelajaran. Menjelaskan logistik yang dibutuhkan.
Memotivasi siswa terlibat dalam aktivitas pemecahan masalah yang dipilih.
Guru membantu
siswa mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan
dengan masalah tersebut (menetapkan topik, tugas, jadwal, dll.)
Guru mendorong
siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai, melaksanakan eksperimen
untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah, pengumpulan data,
hipotesis, pemecahan masalah.
Guru membantu
siswa dalam merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan
dan membantu mereka berbagi tugas dengan temannya.
Guru membantu
siswa untuk melakukan refleksi atau evaluasi terhadap penyelidikan mereka
dan proses-proses yang mereka gunakan.
Kelebihan:
Siswa
dilibatkan pada kegiatan belajar sehingga pengetahuannya benar-benar
diserapnya dengan baik.
Dilatih untuk
dapat bekerjasama dengan siswa lain.
Dapat
memperoleh dari berbagai sumber.
Kekurangan:
Untuk siswa
yang malas tujuan dari metode tersebut tidak dapat tercapai.
Membutuhkan
banyak waktu dan dana.
Tidak semua
mata pelajaran dapat diterapkan dengan metode ini
Skrip kooperatif adalah metode
belajar dimana siswa bekerja berpasangan dan secara lisan mengikhtisarkan
bagian-bagian dari materi yang dipelajari.
Langkah-langkah:
Guru membagi
siswa untuk berpasangan.
Guru membagikan
wacana / materi tiap siswa untuk dibaca dan membuat ringkasan.
Guru dan siswa
menetapkan siapa yang pertama berperan sebagai pembicara dan siapa yang
berperan sebagai pendengar.
Pembicara
membacakan ringkasannya selengkap mungkin, dengan memasukkan ide-ide pokok
dalam ringkasannya. Sementara pendengar menyimak / mengoreksi /
menunjukkan ide-ide pokok yang kurang lengkap dan membantu mengingat /
menghapal ide-ide pokok dengan menghubungkan materi sebelumnya atau dengan
materi lainnya.
Bertukar peran,
semula sebagai pembicara ditukar menjadi pendengar dan sebaliknya, serta
lakukan seperti di atas.
Kesimpulan
guru.
Penutup.
Kelebihan:
Melatih
pendengaran, ketelitian / kecermatan.
Setiap siswa
mendapat peran.
Melatih
mengungkapkan kesalahan orang lain dengan lisan.
Kekurangan:
Hanya digunakan
untuk mata pelajaran tertentu
Hanya dilakukan
dua orang (tidak melibatkan seluruh kelas sehingga koreksi hanya sebatas
pada dua orang tersebut).
Picture and Picture adalah suatu
metode belajar yang menggunakan gambar dan dipasangkan / diurutkan menjadi
urutan logis.
Langkah-langkah:
1. Guru menyampaikan kompetensi yang ingin dicapai.
2. Menyajikan materi sebagai pengantar.
3. Guru menunjukkan / memperlihatkan gambar-gambar yang berkaitan dengan
materi.
4. Guru menunjuk / memanggil siswa secara bergantian memasang / mengurutkan
gambar-gambar menjadi urutan yang logis.
5. Guru menanyakan alas an / dasar pemikiran urutan gambar tersebut.
6. Dari alasan / urutan gambar tersebut guru memulai menanamkan konsep / materi
sesuai dengan kompetensi yang ingin dicapai.
7. Kesimpulan / rangkuman.
Kebaikan:
1. Guru lebih mengetahui kemampuan masing-masing siswa.
2. Melatih berpikir logis dan sistematis.
Kekurangan:Memakan banyak waktu.
Banyak siswa yang pasif.
Numbered Heads Together adalah suatu
metode belajar dimana setiap siswa diberi nomor kemudian dibuat suatu kelompok
kemudian secara acak guru memanggil nomor dari siswa.
Langkah-langkah:
Siswa dibagi
dalam kelompok, setiap siswa dalam setiap kelompok mendapat nomor.
Guru memberikan
tugas dan masing-masing kelompok mengerjakannya.
Kelompok
mendiskusikan jawaban yang benar dan memastikan tiap anggota kelompok
dapat mengerjakannya.
Guru memanggil
salah satu nomor siswa dengan nomor yang dipanggil melaporkan hasil
kerjasama mereka.
Tanggapan dari
teman yang lain, kemudian guru menunjuk nomor yang lain.
Kesimpulan.
Kelebihan:
Setiap siswa
menjadi siap semua.
Dapat melakukan
diskusi dengan sungguh-sungguh.
Siswa yang
pandai dapat mengajari siswa yang kurang pandai.
Kelemahan:
Kemungkinan
nomor yang dipanggil, dipanggil lagi oleh guru.
Metode investigasi kelompok sering
dipandang sebagai metode yang paling kompleks dan paling sulit untuk
dilaksanakan dalam pembelajaran kooperatif. Metode ini melibatkan siswa sejak
perencanaan, baik dalam menentukan topik maupun cara untuk mempelajarinya
melalui investigasi. Metode ini menuntut para siswa untuk memiliki kemampuan
yang baik dalam berkomunikasi maupun dalam ketrampilan proses kelompok (group
process skills). Para guru yang menggunakan metode investigasi kelompok umumnya
membagi kelas menjadi beberapa kelompok yang beranggotakan 5 hingga 6 siswa
dengan karakteristik yang heterogen. Pembagian kelompok dapat juga didasarkan
atas kesenangan berteman atau kesamaan minat terhadap suatu topik tertentu.
Para siswa memilih topik yang ingin dipelajari, mengikuti investigasi mendalam
terhadap berbagai subtopik yang telah dipilih, kemudian menyiapkan dan
menyajikan suatu laporan di depan kelas secara keseluruhan. Adapun deskripsi
mengenai langkah-langkah metode investigasi kelompok dapat dikemukakan sebagai
berikut:
a. Seleksi topik
Parasiswa memilih berbagai subtopik dalam suatu wilayah masalah umum yang
biasanya digambarkan lebih dahulu oleh guru. Para siswa selanjutnya
diorganisasikan menjadi kelompok-kelompok yang berorientasi pada tugas (task
oriented groups) yang beranggotakan 2 hingga 6 orang. Komposisi kelompok
heterogen baik dalam jenis kelamin, etnik maupun kemampuan akademik.
b. Merencanakan
kerjasama
Parasiswa beserta guru merencanakan berbagai prosedur belajar khusus, tugas dan
tujuan umum yang konsisten dengan berbagai topik dan subtopik yang telah
dipilih dari langkah a) di atas.
c. Implementasi Parasiswa
melaksanakan rencana yang telah dirumuskan pada langkah b). Pembelajaran harus
melibatkan berbagai aktivitas dan ketrampilan dengan variasi yang luas dan
mendorong para siswa untuk menggunakan berbagai sumber baik yang terdapat di
dalam maupun di luar sekolah. Guru secara terus-menerus mengikuti kemajuan tiap
kelompok dan memberikan bantuan jika diperlukan.
d. Analisis dan
sintesis
Parasiswa menganalisis dan mensintesis berbagai informasi yang diperoleh pada
langkah c) dan merencanakan agar dapat diringkaskan dalam suatu penyajian yang
menarik di depan kelas.
e. Penyajian hasil
akhir Semua
kelompok menyajikan suatu presentasi yang menarik dari berbagai topik yang
telah dipelajari agar semua siswa dalam kelas saling terlibat dan mencapai
suatu perspektif yang luas mengenai topik tersebut. Presentasi kelompok
dikoordinir oleh guru.
f. Evaluasi
Guru beserta siswa melakukan evaluasi mengenai kontribusi tiap kelompok
terhadap pekerjaan kelas sebagai suatu keseluruhan. Evaluasi dapat mencakup
tiap siswa secara individu atau kelompok, atau keduanya.
Pada dasarnya, dalam model ini guru
membagi satuan informasi yang besar menjadi komponen-komponen lebih kecil.
Selanjutnya guru membagi siswa ke dalam kelompok belajar kooperatif yang
terdiri dari empat orang siswa sehingga setiap anggota bertanggungjawab
terhadap penguasaan setiap komponen/subtopik yang ditugaskan guru dengan
sebaik-baiknya. Siswa dari masing-masing kelompok yang bertanggungjawab
terhadap subtopik yang sama membentuk kelompok lagi yang terdiri dari yang
terdiri dari dua atau tiga orang.
Siswa-siswa ini bekerja sama untuk
menyelesaikan tugas kooperatifnya dalam: a) belajar dan menjadi ahli dalam
subtopik bagiannya; b) merencanakan bagaimana mengajarkan subtopik bagiannya
kepada anggota kelompoknya semula. Setelah itu siswa tersebut kembali lagi ke
kelompok masing-masing sebagai “ahli” dalam subtopiknya dan mengajarkan
informasi penting dalam subtopik tersebut kepada temannya. Ahli dalam subtopik
lainnya juga bertindak serupa. Sehingga seluruh siswa bertanggung jawab untuk
menunjukkan penguasaannya terhadap seluruh materi yang ditugaskan oleh guru.
Dengan demikian, setiap siswa dalam kelompok harus menguasai topik secara keseluruhan.
Pembelajaran kooperatif model TGT
adalah salah satu tipe atau model pembelajaran kooperatif yang mudah
diterapkan, melibatkan aktivitas seluruh siswa tanpa harus ada perbedaan
status, melibatkan peran siswa sebagai tutor sebaya dan mengandung unsur
permainan dan reinforcement.
Aktivitas belajar dengan permainan yang dirancang dalam pembelajaran kooperatif
model TGT memungkinkan siswa dapat belajar lebih rileks disamping menumbuhkan
tanggung jawab, kerjasama, persaingan sehat dan keterlibatan belajar.
Ada5 komponen utama dalam komponen utama dalam TGT yaitu:
1. Penyajian kelas
Pada awal pembelajaran guru menyampaikan materi dalam penyajian kelas, biasanya
dilakukan dengan pengajaran langsung atau dengan ceramah, diskusi yang dipimpin
guru. Pada saat penyajian kelas ini siswa harus benar-benar memperhatikan dan
memahami materi yang disampaikan guru, karena akan membantu siswa bekerja lebih
baik pada saat kerja kelompok dan pada saat game karena skor game akan
menentukan skor kelompok.
2. Kelompok (team)
Kelompok biasanya terdiri dari 4 sampai 5 orang siswa yang anggotanya heterogen
dilihat dari prestasi akademik, jenis kelamin dan ras atau etnik. Fungsi
kelompok adalah untuk lebih mendalami materi bersama teman kelompoknya dan
lebih khusus untuk mempersiapkan anggota kelompok agar bekerja dengan baik dan
optimal pada saat game.
3. Game
Game terdiri dari pertanyaan-pertanyaan yang dirancang untuk menguji
pengetahuan yang didapat siswa dari penyajian kelas dan belajar kelompok.
Kebanyakan game terdiri dari pertanyaan-pertanyaan sederhana bernomor. Siswa
memilih kartu bernomor dan mencoba menjawab pertanyaan yang sesuai dengan nomor
itu. Siswa yang menjawab benar pertanyaan itu akan mendapat skor. Skor ini yang
nantinya dikumpulkan siswa untuk turnamen mingguan.
4. Turnamen Biasanya
turnamen dilakukan pada akhir minggu atau pada setiap unit setelah guru
melakukan presentasi kelas dan kelompok sudah mengerjakan lembar kerja.
Turnamen pertama guru membagi siswa ke dalam beberapa meja turnamen. Tiga siswa
tertinggi prestasinya dikelompokkan pada meja I, tiga siswa selanjutnya pada meja
II dan seterusnya.
5. Team recognize
(penghargaan kelompok)
Guru kemudian mengumumkan kelompok yang menang, masing-masing team akan
mendapat sertifikat atau hadiah apabila rata-rata skor memenuhi kriteria yang
ditentukan. Team mendapat julukan “Super Team” jika rata-rata skor 45 atau
lebih, “Great Team” apabila rata-rata mencapai 40-45 dan “Good Team” apabila
rata-ratanya 30-40
Siswa dikelompokkan secara heterogen
kemudian siswa yang pandai menjelaskan anggota lain sampai mengerti.
Langkah-langkah:
Membentuk
kelompok yang anggotanya 4 orang secara heterogen (campuran menurut
prestasi, jenis kelamin, suku, dll.).
Guru menyajikan
pelajaran.
Guru memberi
tugas kepada kelompok untuk dikerjakan oleh anggota kelompok. Anggota yang
tahu menjelaskan kepada anggota lainnya sampai semua anggota dalam
kelompok itu mengerti.
Guru memberi
kuis / pertanyaan kepada seluruh siswa. Pada saat menjawab kuis tidak
boleh saling membantu.
Memberi
evaluasi.
Penutup.
Kelebihan:
1. Seluruh siswa menjadi lebih siap.
2. Melatih kerjasama dengan baik.
Kekurangan:
1. Anggota kelompok semua mengalami kesulitan.
2. Membedakan siswa.
Examples Non Examples adalah metode
belajar yang menggunakan contoh-contoh. Contoh-contoh dapat dari kasus / gambar
yang relevan dengan KD.
Langkah-langkah:
Guru
mempersiapkan gambar-gambar sesuai dengan tujuan pembelajaran.
Guru
menempelkan gambar di papan atau ditayangkan lewat OHP.
Guru memberi
petunjuk dan memberi kesempatan kepada siswa untuk memperhatikan /
menganalisa gambar.
Melalui diskusi
kelompok 2-3 orang siswa, hasil diskusi dari analisa gambar tersebut
dicatat pada kertas.
Tiap kelompok
diberi kesempatan membacakan hasil diskusinya.
Mulai dari
komentar / hasil diskusi siswa, guru mulai menjelaskan materi sesuai
tujuan yang ingin dicapai.
KKesimpulan.
Kebaikan:
1. Siswa lebih kritis dalam menganalisa gambar.
2. Siswa mengetahui aplikasi dari materi berupa contoh gambar.
3. Siswa diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapatnya.
Kekurangan:
1. Tidak semua materi dapat disajikan dalam bentuk gambar.
2. Memakan waktu yang lama.
Lesson Study adalah suatu metode yang
dikembankan di Jepang yang dalam bahasa Jepangnyadisebut Jugyokenkyuu. Istilah
lesson study sendiri diciptakan oleh Makoto Yoshida.
Lesson Study merupakan suatu proses dalam mengembangkan profesionalitas
guru-guru di Jepang dengan jalan menyelidiki/ menguji praktik mengajar mereka
agar menjadi lebih efektif.
Adapun langkah-langkahnya sebagai berikut:
1. Sejumlah guru bekerjasama dalam
suatu kelompok. Kerjasama ini meliputi:
a.
Perencanaan.
b.
Praktek mengajar.
c.
Observasi.
d.
Refleksi/ kritikan terhadap pembelajaran.
2. Salah satu guru dalam kelompok
tersebut melakukan tahap perencanaan yaitu membuat rencana pembelajaran yang
matang dilengkapi dengan dasar-dasar teori yang menunjang.
3. Guru yang telah membuat rencana
pembelajaran pada (2) kemudian mengajar di kelas sesungguhnya. Berarti tahap
praktek mengajar terlaksana.
4. Guru-guru lain dalam kelompok
tersebut mengamati proses pembelajaran sambil mencocokkan rencana pembelajaran
yang telah dibuat. Berarti tahap observasi terlalui.
5. Semua guru dalam kelompok termasuk
guru yang telah mengajar kemudian bersama-sama mendiskusikan pengamatan mereka
terhadap pembelajaran yang telah berlangsung. Tahap ini merupakan tahap
refleksi. Dalam tahap ini juga didiskusikan langkah-langkah perbaikan untuk
pembelajaran berikutnya.
6. Hasil pada (5) selanjutnya
diimplementasikan pada kelas/ pembelajaran berikutnya dan seterusnya kembali ke
(2).
Adapun kelebihan metode lesson study sebagai berikut:
- Dapat diterapkan di setiap bidang
mulai seni, bahasa, sampai matematika dan olahraga dan pada setiap tingkatan
kelas.
Abstrak. Model pembelajaran ARIAS
dikembangkan sebagai salah satu alternatif yang dapat digunakan oleh guru
sebagai dasar melaksanakan kegiatan pembelajaran dengan baik. Model
pembelajaran ARIAS berisi lima komponen yang merupakan satu kesatuan yang
diperlukan dalam kegiatan pembelajaran yaitu assurance, relevance, interest,
assessment, dan satisfaction yang dikembangkan berdasarkan teori-teori belajar.
Model ini sudah dicobakan di dua
sekolah yang berbeda yaitu salah satu SD negeri di Kota Palembang (percobaan pertama)
dan satu SD negeri di Sekayu, Kabupaten Musi Banyu Asin (percobaan kedua).
Hasil percobaan di lapangan menunjukkan bahwa model pembelajaran ARIAS memberi
pengaruh yang positif terhadap motivasi berprestasi dan hasil belajar siswa.
Berdasarkan hasil percobaan tersebut model pembelajaran ARIAS dapat digunakan
oleh para guru sebagai dasar melaksanakan kegiatan pembelajaran dalam usaha
meningkatkan motivasi berprestasi dan hasil belajar siswa.
Kata kunci: motivasi berprestasi,
hasil belajar siswa, ARIAS, kegiatan pembelajaran
1. Pendahuluan
Salah satu masalah dalam pembelajaran
di sekolah adalah rendahnya hasil belajar siswa. Suatu tes terhadap sejumlah
siswa SD dari berbagai kabupaten dan propinsi menunjukkan hasil belajar siswa
sangat rendah (Lastri 1993:12). Nilai Ebtanas siswa SD dalam kurun waktu lima
tahun terakhir (1993/1994 sampai dengan 1997/199 menunjukkan hasil belajar yang
kurang menggembirakan (Depdikbud, 1998).
Hasil belajar dipengaruhi oleh
berbagai faktor, baik faktor dari dalam (internal) maupun faktor dari luar
(eksternal). Menurut Suryabrata (1982: 27) yang termasuk faktor internal adalah
faktor fisiologis dan psikologis (misalnya kecerdasan motivasi berprestasi dan
kemampuan kognitif), sedangkan yang termasuk faktor eksternal adalah faktor
lingkungan dan instrumental (misalnya guru, kurikulum, dan model pembelajaran).
Bloom (1982: 11) mengemukakan tiga faktor utama yang mempengaruhi hasil
belajar, yaitu kemampuan kognitif, motivasi berprestasi dan kualitas
pembelajaran. Kualitas pembelajaran adalah kualitas kegiatan pembelajaran yang
dilakukan dan ini menyangkut model pembelajaran yang digunakan.
Sering ditemukan di lapangan bahwa
guru menguasai materi suatu subjek dengan baik tetapi tidak dapat melaksanakan
kegiatan pembelajaran dengan baik. Hal itu terjadi karena kegiatan tersebut
tidak didasarkan pada model pembelajaran tertentu sehingga hasil belajar yang
diperoleh siswa rendah. Timbul pertanyaan apakah mungkin dikembangkan suatu
model pembelajaran yang sederhana, sistematik, bermakna dan dapat digunakan
oleh para guru sebagai dasar untuk melaksanakan kegiatan pembelajaran dengan
baik sehingga dapat membantu meningkatkan motivasi berprestasi dan hasil
belajar. Berkenaan dengan hal itu, maka dengan memperhatikan berbagai konsep
dan teori belajar dikembangkanlah suatu model pembelajaran yang disebut dengan
model pembelajaran ARIAS. Untuk mengetahui bagaimana pengaruh model
pembelajaran ARIAS terhadap motivasi berprestasi dan hasil belajar siswa, telah
dicobakan pada sejumlah siswa di dua sekolah yang berbeda. Hasil percobaan di
lapangan menunjukkan bahwa model pembelajaran ARIAS memberi pengaruh yang
positif terhadap motivasi berprestasi dan hasil belajar siswa. Oleh karena itu,
model pembelajaran ARIAS ini dapat digunakan oleh para guru sebagai dasar
melaksanakan kegiatan pembelajaran dengan baik, dan sebagai suatu alternatif
dalam usaha meningkatkan motivasi berprestasi dan hasil belajar siswa. Tujuan
percobaan lapangan ini untuk mengetahui apakah ada pengaruh model pembelajaran
ARIAS terhadap motivasi berprestasi dan hasil belajar.
2. Kajian Teori dan
Pembahasan
2.1 Model
Pembelajaran ARIAS
Model pembelajaran ARIAS merupakan
modifikasi dari model ARCS. Model ARCS (Attention, Relevance, Confidence,
Satisfaction), dikembangkan oleh Keller dan Kopp (1987: 2-9) sebagai jawaban
pertanyaan bagaimana merancang pembelajaran yang dapat mempengaruhi motivasi
berprestasi dan hasil belajar. Model pembelajaran ini dikembangkan berdasarkan
teori nilai harapan (expectancy value theory) yang mengandung dua komponen
yaitu nilai (value) dari tujuan yang akan dicapai dan harapan (expectancy) agar
berhasil mencapai tujuan itu. Dari dua komponen tersebut oleh Keller
dikembangkan menjadi empat komponen. Keempat komponen model pembelajaran itu
adalah attention, relevance, confidence dan satisfaction dengan akronim ARCS
(Keller dan Kopp, 1987: 289-319).
Model pembelajaran ini menarik karena
dikembangkan atas dasar teori-teori belajar dan pengalaman nyata para
instruktur (Bohlin, 1987: 11-14). Namun demikian, pada model pembelajaran ini
tidak ada evaluasi (assessment), padahal evaluasi merupakan komponen yang tidak
dapat dipisahkan dalam kegiatan pembelajaran. Evaluasi yang dilaksanakan tidak
hanya pada akhir kegiatan pembelajaran tetapi perlu dilaksanakan selama proses
kegiatan berlangsung. Evaluasi dilaksanakan untuk mengetahui sampai sejauh mana
kemajuan yang dicapai atau hasil belajar yang diperoleh siswa (DeCecco, 1968:
610). Evaluasi yang dilaksanakan selama proses pembelajaran menurut Saunders et
al. seperti yang dikutip Beard dan Senior (1980: 72) dapat mempengaruhi hasil
belajar siswa. Mengingat pentingnya evaluasi, maka model pembelajaran ini
dimodifikasi dengan menambahkan komponen evaluasi pada model pembelajaran
tersebut.
Dengan modifikasi tersebut, model
pembelajaran yang digunakan mengandung lima komponen yaitu: attention
(minat/perhatian); relevance (relevansi); confidence (percaya/yakin);
satisfaction (kepuasan/bangga), dan assessment (evaluasi). Modifikasi juga
dilakukan dengan penggantian nama confidence menjadi assurance, dan attention
menjadi interest. Penggantian nama confidence (percaya diri) menjadi assurance,
karena kata assurance sinonim dengan kata self-confidence (Morris, 1981: 80).
Dalam kegiatan pembelajaran guru tidak hanya percaya bahwa siswa akan mampu dan
berhasil, melainkan juga sangat penting menanamkan rasa percaya diri siswa
bahwa mereka merasa mampu dan dapat berhasil. Demikian juga penggantian kata
attention menjadi interest, karena pada kata interest (minat) sudah terkandung
pengertian attention (perhatian). Dengan kata interest tidak hanya sekedar
menarik minat/perhatian siswa pada awal kegiatan melainkan tetap memelihara
minat/perhatian tersebut selama kegiatan pembelajaran berlangsung. Untuk
memperoleh akronim yang lebih baik dan lebih bermakna maka urutannya pun
dimodifikasi menjadi assurance, relevance, interest, assessment dan
satisfaction. Makna dari modifikasi ini adalah usaha pertama dalam kegiatan
pembelajaran untuk menanamkan rasa yakin/percaya pada siswa. Kegiatan
pembelajaran ada relevansinya dengan kehidupan siswa, berusaha menarik dan
memelihara minat/perhatian siswa. Kemudian diadakan evaluasi dan menumbuhkan
rasa bangga pada siswa dengan memberikan penguatan (reinforcement). Dengan
mengambil huruf awal dari masing-masing komponen menghasilkan kata ARIAS
sebagai akronim. Oleh karena itu, model pembelajaran yang sudah dimodifikasi
ini disebut model pembelajaran ARIAS.
2.2 Komponen Model
Pembelajaran ARIAS
Seperti yang telah dikemukakan model
pembelajaran ARIAS terdiri dari lima komponen (assurance, relevance, interest,
assessment, dan satisfaction) yang disusun berdasarkan teori belajar. Kelima
komponen tersebut merupakan satu kesatuan yang diperlukan dalam kegiatan
pembelajaran. Deskripsi singkat masing-masing komponen dan beberapa contoh yang
dapat dilakukan untuk membangkitkan dan meningkatkannya kegiatan pembelajaran
adalah sebagai berikut.
Komponen pertama model pembelajaran
ARIAS adalah assurance (percaya diri), yaitu berhubungan dengan sikap percaya,
yakin akan berhasil atau yang berhubungan dengan harapan untuk berhasil
(Keller, 1987: 2-9). Menurut Bandura seperti dikutip oleh Gagne dan Driscoll
(1988: 70) seseorang yang memiliki sikap percaya diri tinggi cenderung akan
berhasil bagaimana pun kemampuan yang ia miliki. Sikap di mana seseorang merasa
yakin, percaya dapat berhasil mencapai sesuatu akan mempengaruhi mereka
bertingkah laku untuk mencapai keberhasilan tersebut. Sikap ini mempengaruhi
kinerja aktual seseorang, sehingga perbedaan dalam sikap ini menimbulkan
perbedaan dalam kinerja. Sikap percaya, yakin atau harapan akan berhasil
mendorong individu bertingkah laku untuk mencapai suatu keberhasilan (Petri, 1986:
218). Siswa yang memiliki sikap percaya diri memiliki penilaian positif tentang
dirinya cenderung menampilkan prestasi yang baik secara terus menerus
(Prayitno, 1989: 42). Sikap percaya diri, yakin akan berhasil ini perlu
ditanamkan kepada siswa untuk mendorong mereka agar berusaha dengan maksimal
guna mencapai keberhasilan yang optimal. Dengan sikap yakin, penuh percaya diri
dan merasa mampu dapat melakukan sesuatu dengan berhasil, siswa terdorong untuk
melakukan sesuatu kegiatan dengan sebaik-baiknya sehingga dapat mencapai hasil
yang lebih baik dari sebelumnya atau dapat melebihi orang lain. Beberapa cara
yang dapat digunakan untuk mempengaruhi sikap percaya diri adalah:
- Membantu siswa menyadari kekuatan
dan kelemahan diri serta menanamkan pada siswa gambaran diri positif terhadap
diri sendiri. Menghadirkan seseorang yang terkenal dalam suatu bidang sebagai
pembicara, memperlihatkan video tapes atau potret seseorang yang telah berhasil
(sebagai model), misalnya merupakan salah satu cara menanamkan gambaran positif
terhadap diri sendiri dan kepada siswa. Menurut Martin dan Briggs (1986:
427-433) penggunaan model seseorang yang berhasil dapat mengubah sikap dan
tingkah laku individu mendapat dukungan luas dari para ahli. Menggunakan
seseorang sebagai model untuk menanamkan sikap percaya diri menurut Bandura
seperti dikutip Gagne dan Briggs (1979: 8 sudah dilakukan secara luas di
sekolah-sekolah.
- Menggunakan suatu patokan, standar
yang memungkinkan siswa dapat mencapai keberhasilan (misalnya dengan mengatakan
bahwa kamu tentu dapat menjawab pertanyaan di bawah ini tanpa melihat buku).
- Memberi tugas yang sukar tetapi
cukup realistis untuk diselesaikan/sesuai dengan kemampuan siswa (misalnya
memberi tugas kepada siswa dimulai dari yang mudah berangsur sampai ke tugas
yang sukar). Menyajikan materi secara bertahap sesuai dengan urutan dan tingkat
kesukarannya menurut Keller dan Dodge seperti dikutip Reigeluth dan Curtis
dalam Gagne (1987: 175-202) merupakan salah satu usaha menanamkan rasa percaya
diri pada siswa.
- Memberi kesempatan kepada siswa
secara bertahap mandiri dalam belajar dan melatih suatu keterampilan.
Komponen kedua model pembelajaran
ARIAS, relevance, yaitu berhubungan dengan kehidupan siswa baik berupa
pengalaman sekarang atau yang telah dimiliki maupun yang berhubungan dengan
kebutuhan karir sekarang atau yang akan datang (Keller, 1987: 2-9). Siswa
merasa kegiatan pembelajaran yang mereka ikuti memiliki nilai, bermanfaat dan
berguna bagi kehidupan mereka. Siswa akan terdorong mempelajari sesuatu kalau
apa yang akan dipelajari ada relevansinya dengan kehidupan mereka, dan memiliki
tujuan yang jelas. Sesuatu yang memiliki arah tujuan, dan sasaran yang jelas
serta ada manfaat dan relevan dengan kehidupan akan mendorong individu untuk
mencapai tujuan tersebut. Dengan tujuan yang jelas mereka akan mengetahui
kemampuan apa yang akan dimiliki dan pengalaman apa yang akan didapat. Mereka
juga akan mengetahui kesenjangan antara kemampuan yang telah dimiliki dengan
kemampuan baru itu sehingga kesenjangan tadi dapat dikurangi atau bahkan
dihilangkan sama sekali (Gagne dan Driscoll, 1988: 140).
Dalam kegiatan pembelajaran, para
guru perlu memperhatikan unsur relevansi ini. Beberapa cara yang dapat
digunakan untuk meningkatkan relevansi dalam pembelajaran adalah:
- Mengemukakan tujuan sasaran yang
akan dicapai. Tujuan yang jelas akan memberikan harapan yang jelas (konkrit)
pada siswa dan mendorong mereka untuk mencapai tujuan tersebut (DeCecco,1968:
162). Hal ini akan mempengaruhi hasil belajar mereka.
- Mengemukakan manfaat pelajaran bagi
kehidupan siswa baik untuk masa sekarang dan/atau untuk berbagai aktivitas di
masa mendatang.
- Menggunakan bahasa yang jelas atau
contoh-contoh yang ada hubungannya dengan pengalaman nyata atau nilai- nilai
yang dimiliki siswa. Bahasa yang jelas yaitu bahasa yang dimengerti oleh siswa.
Pengalaman nyata atau pengalaman yang langsung dialami siswa dapat
menjembataninya ke hal-hal baru. Pengalaman selain memberi keasyikan bagi
siswa, juga diperlukan secara esensial sebagai jembatan mengarah kepada titik
tolak yang sama dalam melibatkan siswa secara mental, emosional, sosial dan
fisik, sekaligus merupakan usaha melihat lingkup permasalahan yang sedang
dibicarakan (Semiawan, 1991). (4) Menggunakan berbagai alternatif strategi dan
media pembelajaran yang cocok untuk pencapaian tujuan. Dengan demikian
dimungkinkan menggunakan bermacam-macam strategi dan/atau media pembelajaran pada
setiap kegiatan pembelajaran.
Komponen ketiga model pembelajaran
ARIAS, interest, adalah yang berhubungan dengan minat/perhatian siswa. Menurut
Woodruff seperti dikutip oleh Callahan (1966: 23) bahwa sesungguhnya belajar
tidak terjadi tanpa ada minat/perhatian. Keller seperti dikutip Reigeluth
(1987: 383-430) menyatakan bahwa dalam kegiatan pembelajaran minat/perhatian
tidak hanya harus dibangkitkan melainkan juga harus dipelihara selama kegiatan
pembelajaran berlangsung. Oleh karena itu, guru harus memperhatikan berbagai
bentuk dan memfokuskan pada minat/perhatian dalam kegiatan pembelajaran.
Herndon (1987:11-14) menunjukkan bahwa adanya minat/perhatian siswa terhadap
tugas yang diberikan dapat mendorong siswa melanjutkan tugasnya. Siswa akan
kembali mengerjakan sesuatu yang menarik sesuai dengan minat/perhatian mereka.
Membangkitkan dan memelihara minat/perhatian merupakan usaha menumbuhkan
keingintahuan siswa yang diperlukan dalam kegiatan pembelajaran.
Minat/perhatian merupakan alat yang
sangat berguna dalam usaha mempengaruhi hasil belajar siswa. Beberapa cara yang
dapat digunakan untuk membangkitkan dan menjaga minat/perhatian siswa antara
lain adalah:
- Menggunakan cerita, analogi,
sesuatu yang baru, menampilkan sesuatu yang lain/aneh yang berbeda dari biasa
dalam pembelajaran.
- Memberi kesempatan kepada siswa
untuk berpartisipasi secara aktif dalam pembelajaran, misalnya para siswa
diajak diskusi untuk memilih topik yang akan dibicarakan, mengajukan pertanyaan
atau mengemukakan masalah yang perlu dipecahkan.
- Mengadakan variasi dalam kegiatan
pembelajaran misalnya menurut Lesser seperti dikutip Gagne dan Driscoll (1988:
69) variasi dari serius ke humor, dari cepat ke lambat, dari suara keras ke
suara yang sedang, dan mengubah gaya mengajar.
- Mengadakan komunikasi nonverbal
dalam kegiatan pembelajaran seperti demonstrasi dan simulasi yang menurut Gagne
dan Briggs (1979: 157) dapat dilakukan untuk menarik minat/perhatian siswa.
Komponen keempat model pembelajaran
ARIAS adalah assessment, yaitu yang berhubungan dengan evaluasi terhadap siswa.
Evaluasi merupakan suatu bagian pokok dalam pembelajaran yang memberikan
keuntungan bagi guru dan murid (Lefrancois, 1982: 336). Bagi guru menurut Deale
seperti dikutip Lefrancois (1982: 336) evaluasi merupakan alat untuk mengetahui
apakah yang telah diajarkan sudah dipahami oleh siswa; untuk memonitor kemajuan
siswa sebagai individu maupun sebagai kelompok; untuk merekam apa yang telah
siswa capai, dan untuk membantu siswa dalam belajar. Bagi siswa, evaluasi merupakan
umpan balik tentang kelebihan dan kelemahan yang dimiliki, dapat mendorong
belajar lebih baik dan meningkatkan motivasi berprestasi (Hopkins dan Antes,
1990:31). Evaluasi terhadap siswa dilakukan untuk mengetahui sampai sejauh mana
kemajuan yang telah mereka capai. Apakah siswa telah memiliki kemampuan seperti
yang dinyatakan dalam tujuan pembelajaran (Gagne dan Briggs, 1979:157).
Evaluasi tidak hanya dilakukan oleh guru tetapi juga oleh siswa untuk
mengevaluasi diri mereka sendiri (self assessment) atau evaluasi diri. Evaluasi
diri dilakukan oleh siswa terhadap diri mereka sendiri, maupun terhadap teman
mereka. Hal ini akan mendorong siswa untuk berusaha lebih baik lagi dari
sebelumnya agar mencapai hasil yang maksimal. Mereka akan merasa malu kalau kelemahan
dan kekurangan yang dimiliki diketahui oleh teman mereka sendiri. Evaluasi
terhadap diri sendiri merupakan evaluasi yang mendukung proses belajar mengajar
serta membantu siswa meningkatkan keberhasilannya (Soekamto, 1994). Hal ini
sejalan dengan yang dikemukakan Martin dan Briggs seperti dikutip Bohlin (1987:
11-14) bahwa evaluasi diri secara luas sangat membantu dalam pengembangan
belajar atas inisiatif sendiri. Dengan demikian, evaluasi diri dapat mendorong
siswa untuk meningkatkan apa yang ingin mereka capai. Ini juga sesuai dengan
apa yang dikemukakan Morton dan Macbeth seperti dikutip Beard dan Senior (1980:
76) bahwa evaluasi diri dapat mempengaruhi hasil belajar siswa. Oleh karena
itu, untuk mempengaruhi hasil belajar siswa evaluasi perlu dilaksanakan dalam
kegiatan pembelajaran. Beberapa cara yang dapat digunakan untuk melaksanakan
evaluasi antara lain adalah:
Mengadakan
evaluasi dan memberi umpan balik terhadap kinerja siswa.
Memberikan
evaluasi yang obyektif dan adil serta segera menginformasikan hasil
evaluasi kepada siswa.
Memberi
kesempatan kepada siswa mengadakan evaluasi terhadap diri sendiri.
Memberi
kesempatan kepada siswa mengadakan evaluasi terhadap teman.
Komponen
kelima model pembelajaran ARIAS adalah satisfaction yaitu yang berhubungan
dengan rasa bangga, puas atas hasil yang dicapai. Dalam teori belajar
satisfaction adalah reinforcement (penguatan). Siswa yang telah berhasil
mengerjakan atau mencapai sesuatu merasa bangga/puas atas keberhasilan
tersebut. Keberhasilan dan kebanggaan itu menjadi penguat bagi siswa tersebut
untuk mencapai keberhasilan berikutnya (Gagne dan Driscoll, 1988: 70).
Reinforcement atau penguatan yang dapat memberikan rasa bangga dan puas pada
siswa adalah penting dan perlu dalam kegiatan pembelajaran (Hilgard dan Bower,
1975:561). Menurut Keller berdasarkan teori kebanggaan, rasa puas dapat timbul
dari dalam diri individu sendiri yang disebut kebanggaan intrinsik di mana
individu merasa puas dan bangga telah berhasil mengerjakan, mencapai atau
mendapat sesuatu. Kebanggaan dan rasa puas ini juga dapat timbul karena
pengaruh dari luar individu, yaitu dari orang lain atau lingkungan yang disebut
kebanggaan ekstrinsik (Keller dan Kopp, 1987: 2-9). Seseorang merasa bangga dan
puas karena apa yang dikerjakan dan dihasilkan mendapat penghargaan baik
bersifat verbal maupun nonverbal dari orang lain atau lingkungan. Memberikan
penghargaan (reward) menurut Thorndike seperti dikutip oleh Gagne dan Briggs
(1979: